Pelosok Jambi jauh sekali
Mulanya, Devi pindah ke pelosok Jambi untuk menjadi guru SD honorer. Devi sebelumnya tinggal di Kota Jambi, sama sekali tidak tahu medan dan sekolah yang akan ditemuinya itu. Perempuan berjilbab ini tidak menyangka bahwa mengajar di Sekolah Dasar yang berada jauh dari perkotaan memiliki atmosfer yang sangat berbeda. SD tempat Devi mengabdi, memiliki murid lebih dari 800 orang yang jadwal sekolahnya pun bergiliran pagi, siang dan sore hari.
Tidak pernah terbayang sebelumnya, bahwa Devi akan bertugas di pelosok desa yang masyarakatnya banyak yang belum teredukasi akan pentingnya pendidikan. Mereka masih berpikir tradisional dan kerap membiarkan anak-anaknya tidak masuk sekolah untuk membantu mereka bekerja di sawah.
Mereka memilih ke sawah daripada masuk sekolah
SD tempat Devi mengajar adalah SDN 178 Simpang IV Suban, Kabupaten Batang Asep, Kecamatan Tanjung Jabung Barat, Jambi. Devi menerima tantangan yang begitu besar selama mengajar di sana dan ketegarannya diuji berkali-kali. Mulai mengajar dengan jam kerja ala shift kantor, murid-muridnya banyak yang tidak berminat sekolah, sampai harus terancam karena emosi dari orang tua muridnya.
Murid Devi mayoritas memiliki orang tua sebagai petani dan pekerja di perkebunan. Mereka yang datang dari keluarga petani, justru lebih mementingkan membantu keluarga mereka bertani. Susah payah Devi menumbuhkan semangat bersekolah dan menimba ilmu pada anak-anak didiknya itu. "Mereka enggak minat sekolah, bahkan waktu UN guru samperin ke rumah ternyata masih tidur. Mereka itu kurang perhatian karena bapak ibunya mandah (tinggal di kebun) jadi orang tua pulang Sabtu-Minggu. Orang tuanya juga tidak mendukung mereka yang penting bisa baca dan tulis, itu saja," tutur Devi dengan wajah sedih dan prihatin akan kondisi murid-muridnya.
Anaknya Tak Naik Kelas, aku diancam dengan parang
Devi tahu bahwa murid-muridnya rata-rata berasal dari keluarga yang berpenghasilan pas-pas an. Orang tua mereka pun menghabiskan waktunya di sawah dan perkebunan sehingga tidak ada waktu untuk menemani buah hatinya belajar atau mengontrol perkembangan pendidikan mereka. Pada musim panen malah anak-anak ini banyak yang absen masuk sekolah karena diminta orang tua mereka untuk membantu atau menjaga adiknya yang masih kecil. Tak heran, sekolah pasti sepi ketika musim panen tiba.
Tak hanya semangat untuk bersekolah yang kurang, niat Devi untuk mengajak anak didiknya melakukan praktikum sederhana pun malah mendapat ditentang oleh orang tua murid. Mereka berkata untuk apa praktikum bawa tanaman segala, menyusahkan! begitu kata mereka. Devi semakin sedih karena baginya praktikum ini akan membantu anak-anak didiknya memahami materi pelajaran dengan lebih mudah.
Tidak hanya kerap dimarahi oleh orang tua murid, Devi juga pernah mendapatkan ancaman serius. Orang tua murid mendatangi dan memakinya lantaran tidak menaikkan anak didiknya karena belum bisa membaca. "Anaknya begitu nyalahin gurunya datang ke sekolah bawa parang" ujar Devi lagi sembari menghela napas dalam-dalam. Betapa beratnya mengajar di lingkungan yang tidak menghargai pendidikan.
Devi tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa Indonesia masih diselimuti dengan kurangnya kesadaran untuk mengenyam pendidikan tinggi. Orang tua hanya ingin tahu jadi, dan marah bila anaknya tidak sesuai dengan apa yang diingini. Namun Devi berusaha tegar dan sabar karena tujuan mulianya adalah berpartisipasi mencerdaskan anak-anak yang susah terjangkau oleh pendidikan yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar